Biaya Kegiatan: Orangtua [Rp. 130.000,-/hari dan Anak-anak [Rp. 120.000,-/hari; 3 kali makan, 2 kali snack, aula, kamar, ruang doa, lapangan outdoor

Selasa, 05 April 2011

Tantangan Memimpin Knowledge Worker sebagai Aset Paling Berharga untuk menghasilkan Competitive Organizational Knowledge

Oleh : Romanus Kristiawan/Dunamis Consulting

"We manage things, but things don't have the power to choose, We lead people who do have the power to choose." - DR. Stephen R. Covey

"When the history of our time is written, the most important event those historians will remember is not technology, not the internet, not e-commerce - but the unprecedented change in the human condition. For the first time, substantial and rapidly growing numbers of people have choices. For the first time, people have to manage themselves and we are totally unprepared for it." - Peter Drucker

Dua kutipan di atas menyadarkan kita adanya perpindahan paradigma dari era industri ke era pengetahuan dan informasi. Saat ini, pengetahuan menjadi sumber daya yang paling menentukan untuk menjadi market leader. Di era industri, upaya lebih banyak difokuskan untuk mengejar efisiensi terhadap pemanfaatan sumber daya yang berupa aset-aset berwujud, seperti modal dan benda-benda statis. Kita kurang memperhatikan cara-cara baru yang dapat meningkatkan hasil berkali-kali lipat. Di era pengetahuan, terjadi sebaliknya, setiap perusahaan berlomba-lomba menemukan lompatan-lompatan kuantum, mendorong roda perubahan dengan cepat.


Produk utama di era pengetahuan bukan berupa produk fisik, melainkan berupa ide atau cara-cara yang dapat menghasilkan produk fisik yang lebih baik. Ide atau cara-cara ini kita sebut dengan pengetahuan. Di era industri alat utama yang menjalankan proses adalah mesin-mesin; sedangkan di era pengetahuan yang utama adalah produk pengetahuan yang diolah oleh manusia. Oleh karena itu di era industri kita menyebut mesin-mesin sebagai aset atau modal, sedangkan di era pengetahuan kita menyebut manusia sebagai aset utama.

Dalam kutipan di atas, Covey menegaskan perbedaan yang mendalam antara konsep management dan leadership. Di era pengetahuan, memimpin (to lead) lebih diperlukan untuk menghasilkan competitive organizational knowledge daripada sekedar mengelola (to manage). Menjadi knowledge leader di perusahaan berbasis pengetahuan berarti mengarahkan knowledge worker menjadi aset intelektual yang dapat menghasilkan pengetahuan yang diperlukan untuk dapat beradaptasi dan berkembang di lingkungan bisnis yang sangat dinamis. Implikasinya, sebagaimana yang disebutkan oleh Peter Drucker di atas, manusia menjadi jauh lebih penting dalam menghasilkan economic value dan dipandang sebagai aset yang berharga.

Celakanya masih banyak pemimpin yang masih memiliki paradigma di era industri. Mereka terbiasa mengelola aset statis dan mudah diatur. Ini bertolak-belakang dengan memimpin manusia seutuhnya yang memiliki pikiran (mind), hati (heart), fisik (body) dan jiwa (spirit). Untuk bisa memimpin di era pengetahuan, para pemimpin membutuhkan paradigma dan ketrampilan baru.

Perubahan paradigma tersebut tidak mengajak kita meninggalkan konsep manajemen dan beralih sepenuhnya dengan mengadopsi konsep leadership. Kedua konsep tersebut merupakan dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Paradigma knowledge enterprise tidak menafikkan perlunya melakukan manajemen yang baik, tetapi mengembangkannya menjadi pemimpin yang baik. Karena dalam prakteknya, leadership juga membutuhkan kemampuan manajerial yang baik, yaitu mewujudkan hal-hal baik (doing the right things) dan melakukannya secara benar (doing the things right). Hanya saja pemimpin berperan penting dalam memberi inspirasi kepercayan, menjadi teladan, serta mengarahkan anggotanya untuk mencapai tujuan organisasi.

Seorang knowledge leader dituntut untuk menghasilkan value bagi perusahaan, yang berasal dari pengetahuan-pengetahuan yang ada pada setiap individu dalam perusahaan. Knowledge leader tersebut menerapkan sistem dan budaya dimana pengetahuan itu dapat mengalir, terkolaborasi, terdokumentasi dan tersebar mendukung proses bisnis. Dengan memiliki organizational knowledge, sebuah perusahaan akan terhindar dari pengetahuan yang terkotak-kotak dan gejala "reinventing the wheel," yakni mengulang apa yang telah dikerjakan sebelumnya sehingga tidak efisien.

Untuk menciptakan organizational knowledge diperlukan "kemauan" dan "kemampuan" untuk mewujudkan individual knowledge menjadi organizational knowledge. "Kemauan" merupakan karakter, sedangkan kemampuan adalah kompetensi. Memiliki kompetensi saja tidak cukup untuk mewujudkan organizational knowledge yang kompetitif. DR. Stephen R Coven mengatakan, "Although image, techniques, and skills can influence our outward success, the weight of real effectiveness lies in good character."

Seorang knowledge leader perlu mengembangkan karakter dan kompetensi para knowledge worker. Karakter seorang knowledge worker yang perlu dikembangkan antara lain:
- Humility adalah sikap menghargai orang lain serta tulus dalam berbagi.
- Curiousity adalah sikap kritis, rasa ingin tahu, mau bertanya, mencari dan melihat ide secara mendalam.
- Abundance Mentallity (mentalitas kelimpah-ruahan) adalah mentalitas bahwa "sesuatunya diciptakan cukup untuk semua orang" sehingga ketika ia berbagi, ia tidak akan mengalami kerugian melainkan keuntungan bagi dirinya sendiri dan bagi orang lain. Kebalikan dari mentalitas ini adalah scarcity, yaitu sikap yang menganggap bahwa hidup ini adalah zero-sum-game, jika saya memberi maka saya akan kehilangan apa yang saya beri.

Sedangkan kompetensi seorang knowledge worker dapat digambarkan sebagai sebuah siklus yang terdiri dari:
- Capture, menangkap pengetahuan dari berbagai sumber baik primer maupun sekunder.
- Expand, mengembangkan pengetahuan yang ditangkap tadi menjadi pengetahuan yang sesuai dengan konteks permasalahan dalam menghasilkan value.
- Apply, menerapkan pengetahuan yang sudah dikembangkan dan mengubahnya menjadi nilai tambah bagi pelanggan, shareholder, dan stakeholder lainnya.
- Share, saling berbagi pengetahuan dengan orang lain atau komunitas lain yang kemudian dapat berkembang lebih lanjut, misalnya menjadi diskusi.

Kompetensi ini dapat dilakukan dalam berbagai cara, gaya (style), modus, tools, keterampilan serta sikap yang tepat dengan situasi yang dihadapi. Dan semakin menguasainya kita akan kompetensi ini, maka kita akan menemukan cara atau gaya kita sendiri.

Pada akhirnya, knowledge leader yang mampu mengembangkan karakter dan kompetensi yang sesuai bagi knowledge worker dapat menghasilkan organizational knowledge yang dibutuhkan untuk mewujudkan organisasi yang unggul.



Dikutip dari Dunamis Newsletter edisi Juni 2010

Tidak ada komentar: