Biaya Kegiatan: Orangtua [Rp. 130.000,-/hari dan Anak-anak [Rp. 120.000,-/hari; 3 kali makan, 2 kali snack, aula, kamar, ruang doa, lapangan outdoor

Sabtu, 23 April 2011

Sekilas info bersama Civita Youth Camp

*) Sebuah refleksi dari Fr. Petrus Hastomo Arbi, CM selama bertugas di Civita Youth Camp KAJ

Selama delapan bulan saya menjalani proses pembinaan atau mengikuti kegiatan pastoral kategorial di CIVITA YOUTH CAMP. Ketika mendengar pemberitahuan dari Rm. Adi, CM bahwa saya akan bertugas di CIVITA saya begitu gembira. Sebab dalam benak saya, hal ini adalah kesempatan yang sangat baik dan penting bagi saya sebagai seorang Vinsensian Muda; saya ingin belajar lebih banyak hal tentang kehidupan kaum muda saat ini. Bagi saya secara pribadi, masa depan gereja juga terletak di kehidupan kaum muda. Merekalah harapan kuat Gereja untuk meneruskan warisan rohani (iman) dari Allah. Karena itu, sudah layak dan sepantasnya mendukung dan mendampingi mereka dalam membentuk atau membangun karakter yang lebih baik.
Sebagai seorang Vinsensian muda, saya diajarkan untuk bisa terbuka dengan berbagai situasi, budaya maupun karakter-karakter baru yang saya temukan dari anak-anak muda jaman ini. Sekalipun, saya masih dalam tahap belajar dan ingin mengenal lebih jauh karakter mereka, terutama melalui pendampingan dalam retret atau rekoleksi, saya juga tetap berusaha untuk menguatkan batin saya agar tetap ada pada jalur pilihan saya. Dengan kata lain, saya tetap menciptakan suasana rohani (doa), komunitas (saat ini/CIVITA), Kepribadian saya (kematangan/kemandirian), relasi dengan orang-orang kecil (para karyawan, orang-orang kecil). Walaupun CIVITA bukan komunitas seperti di seminari, tetapi banyak kegiatan yang berlangsung seperti di seminari. Hal ini membuat saya merasa bahwa tempat ini dapat mendukung saya dalam merefleksikan panggilan hidup saya. Sekalipun juga sering mendampingi anak-anak retret/rekoleksi, porsi doa komunitas dan pribadi juga sangat terbuka lebar. Saya mengalami banyak kesempatan untuk mengembangkannya.
Hidup komunitas. Komunitas yang saya tempati sekarang ini adalah komunitas baru dan di satu sisi sangat berbeda dengan suasana di seminari Tinggi. Maksudnya, komunitas ini tidak hanya terdiri dari romo dan frater saja, tetapi juga hadir para suster, bruder dan awam. Dan semuanya tergabung dalam team CIVITA, yang memiliki visi yang sama, yakni mengenal dan mendampingi kaum muda, mengarahkan kaum muda untuk memiliki karakter yang tangguh untuk menjadi barisan terdepan Gereja dan masyrakat, agar mereka mandiri, peduli kepada sesama (lemah, miskin, kurang kompeten dalam bidang-bidang tertentu music, olahraga, dll). Diharapkan kaum muda yang dibimbing ini punya kepekaan yang besar dalam hidup mereka; SMA bisa memilih yang tepat ketika dihadapkan dengan pilihan bebas untuk kuliah atau kerja; SLTP diharapkan bisa mengenal diri mereka lebih baik (who am I) dan SD, usia ini diajak untuk menyadari bahwa mereka adalah pribadi yang dicintai dengan menyadari bahwa mereka adalah pribadi yang dicintai maka, mereka juga harus punya kepentingan untuk bisa mencintai siapa saja (Tuhan, Orang tua, Sesama mereka/sahabat, dsb)
Komunitas ini bagi saya sendiri adalah sebuah komunitas baru. Pertama kali hidup seperti ini adalah sesuatu yang menarik, dimana saya harus bisa bergaul dan bekerjasama serta mengenal semua anggota komunitas, baik suster maupun bruder. Hal yang sangat perlu menurut saya dan perlu saya kembangkan dalam hidup komunitas seperti ini adalah soal keterbukaan. Mengapa penting…..menurut hemat saya, komunitas yang baik dan berkembang serta dapat mencapai hasil yang maksimal adalah berani terbuka. Terbuka dalam arti: saling mengingatkan, mau berbagi pengalaman, saling menghargai dan mendukung bukan menjatuhkan dan harus berada pada koridor kesadaran bahwa “saya ada dalam satu Team CIVITA”. Dengan mempelajari dan memahami lebih dalam kehidupan komunitas seperti ini, saya semakin menyadari bahwa saya juga perlu terbuka dan mendukung team dalam memperjuangkan keberhasilan. Saya paham bahwa komunitas yang heterogen ini sebenarnya tidak mudah untuk berada dalam satu visi yang sama, pasti ada tujuan-tujuan tersembunyi (pribadi yang menganggap dirinya lebih hebat dari yang lain dan merasa selalu lancar dalam menjalankan tugasnya). Tujuan-tujuan seperti ini selalu saya hindari supaya dalam komunitas sendiri tidak terjadi persaingan. Yang jelas, saya berusaha untuk menikmati komunitas yang saya jalani saat ini dengan sebaik-baiknya.
Hidup doa (Rohani). Tolak ukur hidup rohani, yang saat ini sedang saya jalani adalah mengikuti misa, doa (ibadat) komunitas), doa secara pribadi, menulis refleksi dan mendalami tema-tema retret atau rekoleksi. Menarik bahwa selama di CIVITA, saya merasakan suatu yang berbeda, setiap kali memberi materi retret maupun rekoleksi, saya juga diarahkan untuk masuk dalam tema dan sungguh-sungguh memahami dengan baik, dengan kata lain, selain mendampingi anak-anak sekolah, saya juga adalah subjek yang sedang mengalami retret atau rekoleksi itu sendiri. 
Dalam pastoral kategorial ini saya juga mendapat kesempatan yang lebih banyak untuk mendampingi kaum muda. Saya begitu prihatin adalah berbagai persoalan yang dihadapi anak-anak jaman sekarang. Mereka seolah-olah tidak memiliki roh untuk berjuang dan yang ada adalah mental menuju kemiskinan. Mengapa saya mengatakan begitu, karena saya melihat bahwa anak-anak ini (Jakarta, khususnya) begitu tergantung pada orang tua, terlalu “manja”. Dalam memilih sekolah saja mereka tidak berani menentukan pilihan kalau tidak direstui orang tua. Selain itu pergaulan yang mereka hadapi sangat begitu tidak sehat, seperti ada anak yang mengalami trauma waktu kecil (trauma semanggi, penyingkiran etnis-Thiong Hoa). Apa yang mereka alami ini membuat mereka menjadi anak yang keras dan memiliki karakter yang keras juga, dengan kata lain mereka kurang memiliki kepedulian yang besar dan selalu berpikir “ngapain saya memikirkan yang lain, kagak ada gunanya”. Lingkungan yang keras ini begitu berpengaruh pada kehidupan anak-anak muda ini (terutama SLTP dan SMA). Pada akhirnya mereka juga tidak segan-segan membuat konflik dengan orang tua, melawan orang tua.
Fenomena ini, bagi sendiri begitu menakutkan, ini berarti saya dan semua orang akan menghadapi tantangan yang berat dalam hidup bermasyarakat. Sebab generasi penerus bangsa tidak didampingi dengan baik oleh Negara ini sendiri, mereka lebih banyak dibiarkan dan diajarkan keburukan-keburukan melalui media televisi maupun Koran. Kejahatan hampir dialami, disaksikan oleh anak-anak seusia mereka ini. Baik kejahatan kecil maupun besar. Ketika saya mendengarkan anak-anak konsultasi, mereka kerap mengungkapkan persoalan yang sama. Soal perhatian orang tua dan lingkungan yang begitu keras.
Bagi saya, ini adalah kemiskinan baru dan begitu riskan dapat mengubah pola pikir, mental anak-anak menjadi seorang teroris. Mereka begitu mudah dibawa oleh arus-arus kemodernan. Dan berpikir pendek, “yg penting gue senang, bukan yg penting bokap nyokap seneng”. Sehingga muncullah individualitas dan rasa egoisme yang tinggi. Maka saya merasa tidak heran, ketika mendampingi retret atau rekoleksi begitu sulit, karena persoalan utama yang harus dihadapi adalah pola pikir sikap anak itu sendiri, yang kurang memiliki sikap menghargai, baik sesama teman maupun pendamping. Mereka seolah tidak peduli dan semaunya sendiri. Maka bagi saya sendiri, pastoral kategorial di Civita ini, merupakan ruang yang lebar untuk bisa membuka wawasan yang lebih lebar dalam menghadapi umat di masa depan yang kurang lebih akan memiliki karakter yang seperti ini. Namun saya tidak surut untuk tetap melayani umat, orang lemah, miskin dengan berbagai macam bentuk baik dalam hal fisik maupun spiritual.
Selama saya menjalani pastoral kategorial ini, saya juga mendapat banyak hal yang berkaitan dengan diri saya, minat saya, bakat saya, dan banyak ide-ide yang mucul dan memberi inspirasi dalam menjalani hidup panggilan khusus saya ini. Pekerjaan utama saya dalam mendampingi kaum muda adalah pemberi atau pendamping retret, rekoleksi atau pelatihan-pelatihan bagi kaum muda, dan jelas bahwa saya belajar untuk menjadi pembicara, pendamping sekaligus sebagai sahabat kaum muda dan teladan bagi mereka. Pertama saya menyadari bahwa hal ini tidaklah mudah dan banyak momen-momen yang harus dilakukan dengan benar dan tepat dihadapan anak didik.
Memberi retret atau mendampingi retret saya menyadari bahwa saya dibantu untuk semakin mengenal diri saya. Memperbaiki kelemahan diri saya sedikit demi sedikit, mempertajam ide-ide yang kreatif dan inovatif. Saya menyadari untuk masuk dalam lingkaran kehidupan kaum muda sekarang itu tidak mudah, kadang saya harus lebih “gila”,  dengan kata lain, saya harus mengikuti kemauan mereka dan memahami kebutuhan mereka dengan baik, dari situ baru saya bisa membuat suatu input yang sesuai bagi kebutuhan kaum muda. Dan tidak mungkin langsung membuat suatu input atau masukan bagi mereka tanpa mengenal dunia mereka dengan baik. Dengan bahasa mereka, kalau tidak tepat kita bisa ditertawai atau dianggap “jayus”(melucu tetapi tidak lucu). Ini adalah tantangan bagi saya untuk memahami karakter atau katakanlah mental baru anak-anak jaman sekarang. Lebih-lebih, tugas pastoral di Kota Jakarta yang notabene anak-anak didik adalah anak yang memiliki pendidikan yang lebih baik, kehidupan keluarga yang sejahtera lebih dari cukup, wawasan yang luas, kemauan yang besar, daya persaingan yang kuat untuk menjadi orang sukses, dan hal ini cukup berbeda dengan mental anak-anak yang ada di pedesaan. Saya harus memiliki ide-ide yang kreatif dan tidak membosankan ketika menjelaskan atau berbicara di hadapan anak-anak seperti ini.
Tantangan ini tidak mudah namun, saya mendapatkan nilai yang hidup, pengalaman yang menguatkan jalan panggilan saya ini. Saya bercita-cita untuk bisa mengembangkan minat saya ini, melalui pendampingan orang-orang muda untuk bisa peduli, memiliki kasih kepada sesama dan menghargai siapapun terlebih mereka yang tersingkirkan dan kurang beruntung seperti yang lain. Inilah salah satu cita-cita saya untuk bisa membuat suatu kesadaran baru terobosan baru untuk mengajak anak-anak sejak usia dini untuk menanamkan kepekaan sosial yang besar. Saya sadar bahwa tugas utama saya adalah mewartakan kabar gembira kepada orang miskin, namun saya juga perlu mengajak mereka yang mau terlibat sejak dini, peduli sejak dini untuk menghargai, peduli dengan kaumnya yang lain, yang juga butuh dukungan, dorongan untuk bisa menjadi pribadi yang berkembang. Dengan kata lain, saya sebagai seorang vinsensian muda harus mau belajar dan terbuka terus menerus pada perkembangan jaman. Tidak berdiam diri, tetapi berbuat sesuatu demi kepentingan orang lain.
Hal yang begitu penting, yang bisa saya ambil adalah kerjasama dengan semua pihak untuk bisa menjadi rekan kerja yang baik dalam mendampingi, memberi bantuan baik material maupun non material. Saya mencoba untuk mengajak para peserta anak didik dalam retret atau rekoleksi untuk bisa menanamkan semangat kerjasama. Hal ini diusahakan untuk menghindari mental anak yang selalu merasa pengen menang sendiri, tanpa memperhitungkan orang lain sehingga membawa mereka pada mentalitas egoisitas, egoisme. Hal ini juga penting bagi saya secara pribadi, dengan menyadari bahwa ada kecenderungan egoisme, saya perlu menanamkan sikap rendah hati dan kelembutan hati dalam melayani. Saya tidak mau melayani siapapun umat saya karena sikap saya yang egois. Kalau saya tidak bisa berusaha untuk rendah hati dan lembut hati, maka saya tidak bisa menjadi pembawa kabar gembira bagi umat saya, lebih-lebih mereka yang sangat membutuhkan sapaan, pendampingan, penghiburan (orang miskin, lemah, pendidikan yang tidak memadai, dll).
Pastoral ini sungguh bisa mengembangkan minat saya. Ini adalah salah satu formatio yang penting dalam diri saya. Saya di sini belajar untuk mendewasakan diri, mematangkan diri agar bisa menjadi pemimpin. Saya mencintai setiap tugas atau pekerjaan yang saya lakukan asal hal itu bertujuan  untuk memberikan kegembiraan, penghiburan, penyelamatan dan peneguhan bagi umat saya.



Tidak ada komentar: