Biaya Kegiatan: Orangtua [Rp. 130.000,-/hari dan Anak-anak [Rp. 120.000,-/hari; 3 kali makan, 2 kali snack, aula, kamar, ruang doa, lapangan outdoor

Minggu, 18 Desember 2011

Efek Pygmalion

Berikut adalah artikel tambahan untuk buku ‘Ketika Mozart Kecil Memainkan Jemarinya‘. Artikel ini bisa dibaca lepas, namun Anda dianjurkan untuk membaca buku Ketika Mozart Kecil Memainkan Jemarinya terlebih dahulu bila ingin mendapatkan pengertian yang lebih mendalam:
Pygmalion adalah salah satu legenda terkenal Romawi yang awalnya ditulis oleh pujangga Ovid. Dalam kisah tersebut, Pygmalion adalah seorang pemahat kesepian yang mengaku tidak pernah tertarik dengan wanita. Suatu saat, dia memahat patung berbentuk seorang wanita dari gading. Patung tersebut sangat indah dan realistis sehingga Pygmalion akhirnya jatuh cinta pada patung tersebut. Karena cintanya, Pygmalion memohon pada sang dewi cinta Venus untuk menghidupkan patung tersebut untuk dinikahi. Berkat permohonannya yang sungguh-sungguh dan tulus, Venus akhirnya mengabulkan permintaan tersebut.
Ide cerita tersebut kemudian dipakai oleh George Bernard Shaw, dramawan Irlandia yang juga pemenang hadiah nobel kesusasteraan tahun 1925, untuk menghasilkan salah satu karyanya yang paling dikenal, Pygmalion. Karya Shaw tersebut menceritakan tentang seorang profesor fonetik yang berhasil merubah seorang gadis penjual bunga yang sederhana, Eliza Doolittle, menjadi seorang lady di kalangan elit di London.

Walau kisah asli Pygmalion jelas-jelas merupakan legenda yang tidak mungkin terjadi, namun adaptasi Shaw ternyata menggambarkan sesuatu yang cukup dekat dengan realitas yang jarang kita sadari: bahwa harapan kita terhadap seseorang akan merubah harapan orang tersebut terhadap dirinya sendiri dan akhirnya akan merubah harapan tersebut menjadi kenyataan.
Interaksi rumit tersebut bukanlah sekedar teori yang hanya bisa dinikmati dalam pementasan Shaw, tapi sudah dibuktikan dalam beberapa eksperimen yang dilakukan dengan ketat.
Sekitar tahun 1960-an, Rosenthal dan Jacobson melakukan eksperimen di beberapa sekolah dasar di AS. Dalam salah satu eksperimen tersebut, para guru diberitahu bahwa sekelompok murid-murid (sekitar seperlima dari kelas) memiliki IQ yang lebih tinggi. Secara berkala selama eksperimen tersebut dilakukan, dilakukan tes IQ. Dan memang benar, IQ kelompok murid-murid yang diharapkan memiliki IQ yang lebih tinggi tersebut memang memiliki IQ yang secara signifikan lebih tinggi dibanding murid-murid lainnya.
Namun itu saja tidak cukup membuat cerita tersebut menjadi istimewa. Apa yang membuat cerita ini menjadi istimewa adalah fakta bahwa sebelum kelas tersebut dimulai, semua murid-murid telah menjalani tes IQ dan sebenarnya IQ semua murid-murid dalam kelas tersebut lebih kurang sama! Bagaimana sekolompok murid-murid yang diberitahu memiliki IQ tinggi akhirnya benar-benar menunjukkan IQ yang tinggi, menurut Rosenthal dan Jacobson, adalah hasil dari harapan guru-guru tersebut. Secara tidak sadar, harapan-harapan tersebut mempengaruhi citra diri murid-murid itu sendiri. Citra diri tersebut mungkin membuat mereka belajar lebih keras atau secara tidak sadar mengembangkan kemampuan bawah sadar mereka. Eksperimen tersebut juga dilakukan untuk mahasiswa dengan hasil yang lebih kurang sama.
Kesimpulannya: walau kisah Pygmalion merupakan dongeng, namun efek Pygmalion bukanlah dongeng!
Dalam konteks dunia kerja, efek ini juga pernah diteliti oleh J. Sterling Livingstone. Hasil penelitian tersebut dipublikasikan di Harvard Business Review pada edisi Sep/Okt 1988 di artikel yang berjudul “Pygmalion in Management“. Menurut Livingstone, bagaimana manajer memperlakukan anak buahnya dipengaruhi secara tidak sadar oleh harapan manajer tersebut. Manajer yang memiliki pengharapan positif terhadap anak buahnya akan cenderung mendapatkan hasil yang positif dan sebaliknya. Harapan-harapan tersebut dikomunikasikan dengan halus, kadang tidak disadari oleh manajer tersebut. Misalnya saja manajer akan memberikan lebih banyak feedback konstruktif untuk anak buah yang diharapkan menunjukkan kinerja positif dan memberikan kritik bernada negatif terhadap anak buah yang diharapkan menunjukkan kinerja negatif. Atau manajer akan menghabiskan lebih banyak waktu untuk berdiskusi dengan anak buah yang diharapkan menunjukkan kinerja positif. Akumulasi dari hal-hal kecil seperti itu akan mempengaruhi citra diri para anak buah tersebut yang akhirnya berbuah pada kenyataan sesuai harapan manajer tersebut dari awal. Kesesuaian antara harapan dan kenyataan tersebut semakin memperkukuh kepercayaan manajer bersangkutan bahwa pendapatnya memang benar dari awal.
Pendapat tersebut ditunjang juga oleh dua peneliti dari Insead, Jean-Francois Manzoni dan Jean-Louis Barsoux. Penelitian tersebut dituangkan dalam buku “The Set-Up-to-Fail Syndrome“. Mereka berfokus pada bagaimana para boss secara tidak sadar menyusun perangkap untuk menggagalkan anak buahnya. Harapan negatif boss menimbulkan ketidakpercayaan diri anak buah, yang menurunkan kinerjanya, yang memperkuat kepercayaan awal sang boss, dan seterusnya.
Lalu apa artinya efek Pygmalion bagi kita? Bila kita adalah orang tua atau pengajar, berhati-hatilah dengan harapan-harapan negatif yang kita miliki terhadap anak-anak atau murid-murid kita. Bila kita adalah manajer atau boss, berhati-hatilah terhadap harapan-harapan negatif terhadap bawahan kita. Sebagai pasangan, kita juga harus berhati-hati terhadap pikiran-pikiran negatif terhadap pasangan kita. Simpanlah harapan positif, dan mereka akan memberikan sisi positif mereka; jagalah harapan negatif dan mereka akan bereaksi negatif juga. Ingin anak-anak Anda berprestasi? Harapkanlah demikian, dan motivasi mereka menjalani latihan dan pembelajaran yang benar. Lakukan hal  yang sama untuk diri Anda juga.
Sebagai manusia, kita memang sulit menghilangkan harapan-harapan tersebut, namun dengan menyadari bahwa harapan-harapan kita bisa menjadi kenyataan, kita bisa selalu bermawas diri. Walau saat ini kita masih jauh dari memahami bagaimana pikiran kita bisa menciptakan kenyataan, bukti-bukti secara empiris dan eksperimental telah menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang bisa ditarik antara pikiran dan kenyataan.

Sumber: http://www.itpin.com/blog/efek-pygmalion/

Tidak ada komentar: