Malam itu, malam tanggal 08 Maret 2012 merupakan malam
yang penuh kenangan. Tepat pukul 18.50 segera saya bersama temanku keluar rumah
hendak menuju ke tempat rumah makan bebek goreng yang terletak sekitar 2 Km
arah barat rumah kami. dengan mengendarai motor supra X kami menuju ke tempat
yang dimaksud. Lantas apa yang terjadi? Di Rumah makan bebek goreng
rupanya tidak ada pengunjugnya, pada hal
baru pukul 19.00. biasanya jam segini orang masih lalu lalang keluar masuk
rumah makan ini. kok saat ini sudah tidak ada lagi?
Tanpa berpikir panjang kami
langsung balik arah menuju ke tempat rumah makan bebek goreng lainnya yakni
arah utara tugu, persis 100 meter sebelum terminal Jombor. Jogya. Ah…malam ini
rupanya nasib kami kurang beruntung.
Disanapun rumah makannya sudah tutup dan alasannya jelas karena bebek gorengnya
habis. Mau kearah timur di tempat bebek goreng lainnya lagi, eh..terlalu jauh.
Keputusan terakhir kami kembali ke tempat yang pertama tadi, siapa tahu disana
orangnya sudah ada. Begitu motor bergerak maju menuju tempat yang pertama,
hujan anginpun turun, terpaksa kami harus menepi dan kebetulan disitu ada rumah
makan lesehan. Kamipun segera turun dari motor langsung masuk ke rumah makan
lesehan ini sambil memesan makan malam ini dengan lauk special “ Ayam bakar dan
jeruk hangat”. Maklum si kampung tengah/perut sudah berontak terus meminta
supaya segera diisi. Ah engkau aku
sebenarnya malam ini engkau ingin kuisi dengan bebek goreng, namun
situasi berkata lain bahwa mungkin makan di lesehan ini ada maknanya
tersendiri. Dan sungguh telah mendapat banyak nilai yang kutemukan.
Sambil menunggu menu makan malam ini ala lesehan,
akupun mendekati temanku dan mulai berbagi pengalaman, terlebih seputar
pengalaman yang barusan kami alami. Nasib—nasib.,…malam ini kita kurang
beruntung. Bebek goreng tidak memihak kita. Tetapi tidak apa-apalah ada ayam
bakar yang akan menghampiri kita sebentar lagi. Sementara kami asyik ngobrol,
tiba-tiba dengan keadaan hujan lebat beserta angin keras dua bocah berusia
sekitar delapan tahun datang menghampiri kami dengan membawa ukulele/gitar
kecil. Rupanya mereka ingin menghibur kami
yang sedang makan malam di tempat lesehan sederhana ini. kepiawaiannya
sang bocah ini dalam bermain gitar mini/ukulele rupanya mau mengajak saya untuk
berpikir sejenak sambil bertanya dalam hati. Luar biasa si bocah itu, tanpa
kenal suasana mereka tetap menerjang angin dan taufan hendak mencari sesuap
nasi dan kebutuhan mereka setiap harinya hanya bermodalkan gitar mini dengan
suaranya yang khas. “ bagaimana dengan aku?”. Aku sebetulnya malu melihat
perjuangan dan kerja keras dua bocah ini. sejak dini mereka sudah diajarkan
untuk mengembangkan potensi mereka dengan cara menghibur banyak orang.
Sementara aku….aku belum dapat berbuat apa-apa kepada sesama di sekitarku. Saat
ini aku hanya tahu dan mau tanpa ada rasa bersalah telah memeras keringat orang
lain dengan cara saya yang kurang selektif. Yang terpenting kebutuhan jasmaniku
terpenuhi, aku kan seorang yang terpanggil yang selalu dilayani. Buat apa aku
seperti anak kecil tadi, jangan-jangan mereka anak jalanan yang belum tahu apa
arti kehidupan ( pikirku dalam hati dengan nada arogan). Mereka kan hanya
berpikir “apakah hari ini/malam ini kami
bisa makan?”. Berbeda dengan cara berpikir kami dan orang lain yang tidak
mempersoalkan makanan. Yang muncul dalam benak kami adalah: “ hari ini makan apa ya? Atau di
kalangan para koruptor bisa saja mengatakan: “ hari ini kami makan siapa ya?”.
Jika ungkapan yang demikian selalu terjadi, maka
Negara ini tidak akan maju. Sarang-sarang penyamun dan koruptor akan bertambah.
Karena yang dipikirkan hanya dirinya, bukan sesamanya. Kapan situasi seperti
ini akan berakhir? Jawabannya ada pada
dua bocah tadi. Bagi saya di hati kedua bocah tadi terkandung banyak nilai
yang dapat merubah pola pikir manusia Indonesia, yang cendrung konsumeris,
selalu ingin menghabisi nyawa orang lain lewat tindakan korupsi. Kehadiran
kedua bocah tadi sungguh membawa berkat bagi saya, setidaknya saya semakin
sadar akan bagaimana perjuangan dan kerja keras seseorang demi sesuap nasi.
Mereka / bocah tadi telah mengajarkanku sebuah bahasa kasih, yakni: “kasih dan penghiburan kepada sesama dengan
kesederhanaan dan kepolosan adalah sebuah rencana indah yang sedang dirajut
oleh-Nya untuk pembelajaran bagi manusia yang tidak bermoral”.
Kehadiran dua bocah tadi memberi sebuah harapan dan
pembelajran berharga bagiku. Disana aku bisa menemukan arti kehidupan, aku belajar
menghargai sesama, menerima orang lain apa adanya, sukacita dalam duka cita,
kuat dalam kelemehan, setia dalam ketidak pastian hidup dan dapat menemukan
cinta di tengah situasi yang galau. Kehadiran mereka menjadikan seseorang semakin peka dan tanggap dengan situasi
setempat. Mereka (si bocah) bisa
dikatakan sebagai pembawa damai dan sukacita. Aku telah melihat TUHAN dalam
diri mereka. Terima kasih adik-adikku..kalian memang luar biasa. Aku rindu
kehadiran kalian…
Br. Libert
Jehadit, CSA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar